Oleh: Om Faduli
Fadulinews.com | Weda Utara, Halmahera Tengah —
Industri tambang di Maluku Utara selalu dimulai dengan janji manis: membuka lapangan kerja, memajukan ekonomi daerah, dan menyejahterakan masyarakat lokal. Namun di balik janji itu, selalu ada cerita getir yang tak pernah masuk dalam laporan produksi. Di tanah Sagea, kisah itu kini berulang.(Minggu/25/09/2025)
Ratusan karyawan PT. Rumah Sejahtra Abadi (RSJ) dan PT. Maining Abadi Indonesia (MAI) yang bernaung di bawah Batu Karang Group, berlokasi di Site Sepo, Desa Sagea–Fritu–Wale, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, bersuara lantang menuntut keadilan. Mereka menolak dugaan kebijakan sepihak perusahaan yang dinilai melanggar kontrak kerja dan menabrak Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Cermin Buram di Balik Seragam Tambang
Ketika buruh bekerja di bawah terik matahari dan guyuran hujan, mereka percaya bahwa kerja keras akan dibayar dengan keadilan. Namun, dugaan aturan sepihak dari oknum Kepala HRD justru mencederai keyakinan itu.
Aturan seperti “alpa satu hari langsung PHK, terlambat dua hari langsung PHK” terdengar lebih seperti ancaman daripada kebijakan. Padahal, dalam hukum ketenagakerjaan, setiap pelanggaran harus melalui proses bertahap: SP1, SP2, dan SP3. Tetapi di lapangan, tahapan itu seperti dilupakan.
Banyak karyawan mengaku dipanggil ke kantor dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri, agar perusahaan terhindar dari kewajiban membayar sisa kontrak dan kompensasi. Cara halus namun kejam untuk memangkas hak-hak buruh yang telah bekerja dengan dedikasi dan pengorbanan.
Luka Sosial yang Tak Terlihat
Buruh bukan sekadar tenaga kerja — mereka adalah wajah dari keberhasilan industri tambang. Mereka punya keluarga, anak-anak yang menunggu kepastian, dan harapan yang digantungkan pada janji kesejahteraan.
Ketika hak mereka diinjak, yang retak bukan hanya hubungan industrial, tapi juga kepercayaan sosial. Ketakutan menggantikan semangat, kecemasan menelan harapan. Di rumah, tangisan istri dan anak menjadi saksi bisu dari kebijakan yang tak berperasaan.
Untungnya, Pemerintah Bergerak Cepat
Di tengah meningkatnya keresahan itu, Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Maluku Utara bertindak cepat. Mereka segera turun ke lokasi Site Sepo untuk melakukan mediasi antara karyawan dan pihak manajemen.
Langkah cepat ini menjadi penyejuk di tengah bara. Sebab jika tidak, situasi bisa saja berujung pada hal-hal yang tak diinginkan — ketika karyawan yang menuntut hak justru berhadapan dengan aparat keamanan yang dijadikan tameng oleh perusahaan.
Perusahaan harus tahu diri dan sadar diri. Kesepakatan kerja bukan sekadar tanda tangan di atas kertas, tetapi perjanjian moral antara manusia yang sama-sama mencari hidup. Jika dilanggar, maka itu bukan sekadar pelanggaran hukum — melainkan pengkhianatan terhadap martabat buruh lokal yang sudah bekerja dengan loyalitas tinggi.
Antara Keuntungan dan Kemanusiaan
PT. RSJ–MAI mungkin sedang mengejar efisiensi dan target produksi. Tapi efisiensi tidak boleh mengorbankan kemanusiaan. Keuntungan tidak boleh tumbuh dari penderitaan.
Perusahaan besar seharusnya menjadi pelindung bagi pekerjanya, bukan sumber ketakutan. Jika buruh hanya dianggap angka dan bukan bagian dari keberhasilan, maka sebesar apa pun laba yang tercatat, keberkahannya telah hilang.
Wajah Tambang di Maluku Utara
Kisah ini bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Di berbagai wilayah tambang, pola yang sama terus berulang: janji sejahtera di awal, penderitaan di belakang. Di atas kertas, investasi terlihat indah. Tapi di lapangan, rakyat kecil hanya menjadi penonton dari kekayaan tanahnya sendiri.
Kita tidak menolak investasi. Kita menolak keserakahan yang menyamar sebagai kemajuan. Karena di balik slogan “pemberdayaan masyarakat”, sering kali tersembunyi praktik yang justru menindas masyarakat itu sendiri.
Penutup: Jika Putra Daerah Bergerak
Perusahaan harus belajar membaca tanda zaman. Jika putra daerah sudah mulai bersuara, artinya kepercayaan publik telah sampai di titik nadir.
PT. Rumah Sejahtra Abadi (RSJ) dan PT. Maining Abadi Indonesia (MAI) harus bercermin — bukan pada angka laba, tetapi pada wajah-wajah buruh yang kecewa. Sebab perusahaan bisa mengganti manajemen, namun tidak bisa membeli kembali kepercayaan yang telah hilang.
Tambang bisa tutup, pit bisa kosong, tapi luka sosial akan tetap membekas. Dan sejarah akan mencatat: di mana ada ketidakadilan, di situ rakyat akan bersuara.
Opini ini ditulis oleh Om Faduli, jurnalis dan pemerhati sosial Maluku Utara.
Tim Redaksi FaduliNews masih berupaya menghubungi pihak manajemen PT. Rumah Sejahtra Abadi (RSJ) / PT. Maining Abadi Indonesia (MAI) Batu Karang Group Site Sepo, Desa Sagea–Fritu–Wale, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, untuk konfirmasi terkait dugaan kebijakan sepihak yang dipersoalkan para karyawan.
(FADULI)