Indeks

Luka di Tanah Sagea dan Hikmah dari Halmahera Timur

Oleh: Om Faduli

FaduliNews_Di tanah Maluku Utara, tanah bukan sekadar permukaan bumi — ia adalah nadi sejarah dan saksi hidup dari generasi ke generasi. Namun dua peristiwa besar baru-baru ini mengingatkan kita betapa rapuhnya keseimbangan antara hukum, modal, dan nurani: kejadian di Desa Sagea, Halmahera Tengah, dan kekalahan sebelas warga Halmahera Timur dalam sengketa tanah melawan perusahaan tambang PT. Position. (Minggu/19/10/2025)

Di Sagea, publik dikejutkan oleh dua video yang viral. Dalam rekaman itu, sebuah alat berat excavator terlihat merusak dua mobil milik warga yang tengah menuntut kejelasan atas lahan yang digunakan perusahaan tambang PT. Mahakarya Abadi Indonesia (MAI). Pemandangan itu menyayat hati: warga yang datang dengan suara, dibalas dengan besi dan amarah. Entah siapa yang salah — perusahaan yang kehilangan kendali atau masyarakat yang sudah lama menahan perih karena tanahnya dianggap “izin tambang”.

Namun satu hal pasti, peristiwa itu memperlihatkan bahwa investasi tanpa empati akan selalu berujung pada luka sosial.
Perusahaan yang gagal memahami bahasa kearifan lokal akan selalu terlihat arogan di mata rakyat, seberapapun besar kontribusinya di neraca ekonomi daerah.

Sementara di Halmahera Timur belum lama imi, sebelas warga yang mempertahankan tanah adat mereka harus menerima kekalahan pahit di meja hukum.di mana mereka di fonis bersalah dengan tindakan melawan **Mereka tidak kalah karena tidak punya keyakinan, tetapi karena sistem hukum sering kali berpihak pada dokumen, bukan pada sejarah. Mereka melawan bukan dengan alat berat, tetapi dengan tekad. Namun hukum tetap berjalan dingin — berpihak pada pihak yang memiliki bukti administratif, bukan pada ingatan leluhur.

Dari dua peristiwa ini, kita belajar bahwa perlawanan rakyat dan kekuasaan modal tidak boleh terus dibiarkan dalam siklus dendam dan kecurigaan.
Warga harus mulai belajar menempuh jalan hukum dengan strategi dan konsolidasi yang matang  memperkuat organisasi, advokasi, dan literasi hukum agar perjuangan mereka tak lagi berakhir dengan kalimat “kami kalah”.

Perusahaan juga harus belajar: keuntungan tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan martabat manusia.
Satu tindakan arogansi bisa menghancurkan citra investasi bertahun-tahun. PT. MAI dan perusahaan lain di lingkar tambang Maluku Utara semestinya menjadikan konflik ini sebagai momentum introspeksi  bukan sekadar urusan PR, tetapi urusan moral.

Hikmah dari Halmahera Timur dan Sagea ialah bahwa kita semua  baik perusahaan maupun warga  seharusnya belajar berjalan di tengah.

Warga perlu ikhtiar dan sabar, tetapi juga tegas menuntut haknya dengan cara yang bijak dan legal. Perusahaan wajib menjaga komunikasi, menahan ego, dan tidak mengulangi kesalahan yang memperuncing luka sosial.

Karena di ujung semua konflik tambang, yang tersisa bukan siapa yang menang, melainkan siapa yang masih bisa hidup berdampingan setelah debu turun.
Dan ketika hukum sudah bicara, hanya nurani yang bisa menyembuhkan.

Tanah boleh dimiliki dengan izin, tapi kepercayaan rakyat hanya bisa dijaga dengan kejujuran.

Om Faduli

Exit mobile version