Pasarsosial.com/cd9p8t0i

Naluri Tua

banner 120x600

Oleh: Ardiansyah Fauzi

“Adakalanya sesuatu yang tertulis seperti meditasi meresahkan bagi masa depan. Bagiku, seperti membuka kotak pandora untuk merenungkan kembali hubungan seperti apa yang kita bangun nanti dengan mesin penyimpan data, bahwa apakah kebenaran harus ditentukan oleh bukti empiris ataukah naluri ‘tua’ yang baik.”

Dalam ilmu biologi Modern, Herbert Spencer mencetuskan teori survival of the fittes yang kemudian menjadi populer setelah diulas oleh Charles Darwin, dengan sedikit penekanan bahwa sesungguhnya mereka yang mampu bertahan dari segala perubahan zaman bukanlah hanya mereka yang paling kuat tetapi yang paling mampu beradaptasi. Dan itulah yang kita percayai jutaan tahun lalu hingga revolusi kognitif tiba kurang lebih 70.000 tahun yang silam.

Abad kini, Harari dalam karyanya A Brief History of Humankind mengatakan, bahwa sebenarnya Homo Sapiens itu mampu bertahan dan bisa menguasai dunia hari ini bukan karena tubuh kita paling kebal atau gigi kita paling tajam, tapi karena kemampuan berimajinasi kolektif dan sanggup bekerjasama dalam skala besar. Realitas ini sekali lagi membuktikan bahwa kita bukan Lebah atau Semut yang sanggup bertahan hidup karena kekuatan sengatan di pantatnya dan kekerabatan koloninya atau kemampuan adaptasinya terhadap alam tetapi kekuatan fiksi-lah yang mampu menjadikan Manusia itu bukan sekadar survival tetapi lebih dari itu berevolusi menjadi penguasa alam semesta.

Manusia menciptakan realitas imajiner sebagai relasi kuasa yang paling efektif dalam mempertahakan hidupnya, Opa Benedict Anderson menyebutnya imagined communities yang kemudian menghimpun kita dalam sebuah bangsa, percaya pada negara, pada hukum, percaya pada uang kertas yang tidak bisa kita makan sampai kapanpun, percaya pada politik meskipun dilorong-lorong sempit nan gelap penuh caci-maki. Kita selalu percaya pada semua yang tak akan pernah dipercayai oleh kupu-kupu dan serigala, sefana itu duniawi. Manusia lalu mengembangkan sistem sosial, seni dan tehnologi, pengetahuan ditingkatkan hingga lahirlah revolusi pertanian, revolusi industri hingga dunia modern terbaru revolusi artificial intelligence (kecerdasan buatan).

Hari-hari esok abad ini penuh kecemasan, muram, dibayang-bayangi ketakutan, bukan karena perang didepan mata, bukan karena bedil dan bom molotov semakin dekat saja dengan teras rumah kita, tetapi fomo atas ilusi peran kita sebagai khalifah dimuka bumi yang akan segera tergantikan oleh mesin dan robot. Lalu dalam keadaan frustasi dihadapan dunia algoritma media sosial yang serba gemerlap, kita kembali menjadi makhluk yang pernah diingatkan oleh Bung Karno dalam pidato terakhirnya pada 17 agustus 1966 ‘Jas Merah’, yakni makhluk yang paling pendek ingatannyan; Monyet.

Dan lebih mengerihkan lagi, saat ini kita sedang memasuki era tanpa nalar, memilih cara hidup persis makhluk dengan ingatan paling pendek yang kini memiliki kecepatan jari-jari mendahului akalnya, sehingga status postingan dengan kalimat suci penuh kebijaksaan hanya sebatas caption bukan lagi sebuah kontemplasi diri. Kita seperti sedang menikmati lukisan Salvador Dali yang sangat indah namun menyimpan makna sesungguhnya dalam kekaburan, segalanya menjadi bias sehingga substansi estetika sebagai ilmu filsafat terdistorsi hanya sebagai kredensial dalam upaya mengarungi platform digital, akhirnya yang bising dan viral di jagat maya bukan lagi gagasan tapi gestur, trending dan validasi diri diukur dengan selfi yang rupawan bukan self-awarness.

Data dan algoritma membentuk dunia kita hari ini namun sayangnya keduanya tidak lagi menjadi alat untuk menyaring mana informasi bermutu dan mana yang layak dipilih sebagai tontonan berkualitas, keduanya telah menjelma sebagai pelayan bagi pikiran yang malas. Lalu, kita berteriak setiap waktu; Bangsa kita harus maju dan sejatera menuju generasi emas 2045! Lewat media sosial yang kini berubah sebatas platform ekspresi dan reaktor emosional semata tanpa lagi memiliki substansi, sehingga pada akhirnya hanya sanggup melahirkan generasi yang bisa menangis 15 detik namun tak bisa berpikir selama 5 menit. Kita menyebutnya generasi algoritmik, dimana logika dikorbankan sehingga yang tiba di finis ketika gawai di tangan lowbat setelah seharian diratapi hanyalah konten-konten yang berbasis noise tapi bukan voice. Sebuah kesedihan mendalam dan mulailah belajar memahami secara pelan-pelan, mengapa dewasa ini hoax menyebar lebih cepat 6X daripada biasanya? dan kolom komentar telah lama berubah menjadi ring tinju antar asumsi bukan lagi sebagai ruang diskusi disebuah museum tua digital yang berdebu tanpa ada lagi bekas dan jejak-jejak pikiran tertinggal di dalamnya.

Kekacauan ini mesti segera diperbaiki sebelum bencana yang lebih besar datang diakhir gen Alpha, yakni dengan cara sederhana dan kiat yang pasti tak populer bagi generasi yang telah terlanjur mengadaikan kebahagian dan validasi dirinya pada banyaknya likes dan jumlah followers. Pertama; Kurasi konten sendiri karena rumus dasar algoritma medisos itu mengikuti kebiasaan, suka kebodohan? Maka itulah yang akan kalian lihat setiap hari. Kedua; Biasakan verifikasi, jangan hanya baca judul tetapi baca dan pahami pula konteksnya, cek sumber karena kebenaran tak selalu tampil di headline. Ketiga; Membaca secara pelan-pelan sebagai upaya untuk sediakan waktu bagi diri untuk membaca yang tidak viral karena yang bernilai jarang muncul sebagai trending. Keempat; Diskusi dengan tenang tanpa emosional sehingga mampu membedakan kritik dan pendapat bukan serangan agar tidak cepat tersinggung tetapi menjadi cepat berpikir. Kelima; Gunakan media sosial sebagai alat bukan cermin ego bukan juga lapak jual harga diri bagi seorang narsistik.

Periode gen Beta sudah mulai terbit, generasi yang hampir seluruh sendi kehidupannya akan akrab dengan teknologi AI dan realitas virtual (VR), namun apapun nanti namanya sejarah telah membuktikan kisahnya, bahwa spesies yang paling mungkin survive dan menguasai dunia hanya spesies yang memiliki bahasa dan cerita bersama, spesies yang mampu membangun kerjasama secara fleksibel dan spesies yang inovatif dan memiliki akumulasi pengetahuan yang terus diturunkan dan ditingkatkan. Teknologi genetika, AI dan robotika barangkali telah mengubah selamanya hubungan satu sama lain dengan spesies lain namun percayalah manusia bisa menguasai dunia hingga saat ini sekali lagi bukan karena kekuatan otot dan taring tapi karena kekuatan fiksi bersama, kemampuan kita menciptakan, mempercayai dan mematuhi hal-hal yang tidak pernah ada di alam namun mampu menggerakan miliaran orang untuk bertindak secara kolektif.

Andai kredo kolektif itu runtuh maka manusia tak akan bisa lagi menguasai bumi dan kita tak lebih kuat daripada Kecoak dan tak lebih tinggi daripada Simpanse (kera besar) dari hutan dan sabana tropis.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *