Oleh : Zulkifli Makatita – Masyarakat Pers Maluku Utara
Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, eksistensi kesultanan-kesultanan seperti Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo bukan hanya tinggal kenangan sejarah. Mereka merupakan entitas budaya, politik, dan sosial yang masih memiliki peran penting dalam membentuk identitas dan arah pembangunan daerah. Dalam konteks demokrasi modern, revitalisasi peran kesultanan harus dilihat sebagai peluang untuk menyatukan nilai-nilai adat dengan sistem hukum dan politik nasional.
Kesultanan dan Konstitusi : Bukan Ancaman, Tapi Kekuatan
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI. Ini berarti, sistem hukum adat dan kepemimpinan tradisional seperti kesultanan memiliki landasan hukum untuk berperan dalam pembangunan, selama tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum modern.
Kesultanan bukanlah antitesis demokrasi, melainkan bentuk kearifan lokal yang dapat menjadi penopang stabilitas sosial. Di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik, institusi budaya seperti kesultanan justru dipercaya karena kedekatannya dengan rakyat dan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi.
2. Politik Identitas vs Politik Peradaban
Kita menyaksikan bagaimana politik identitas sering digunakan untuk memecah belah masyarakat, memainkan isu SARA demi kekuasaan jangka pendek. Padahal, politik seharusnya menjadi ruang peradaban: membangun tata kelola yang adil, bersih, dan berakar pada nilai-nilai luhur.
Kesultanan memiliki modal sosial dan sejarah yang kuat untuk mendorong politik peradaban. Konsolidasi antara empat kesultanan Moloku Kie Raha bukanlah semata proyek politik elektoral, tetapi bagian dari gerakan kebudayaan yang ingin mengembalikan ruh kepemimpinan yang melayani rakyat, bukan menguasai.
3. Pendidikan Politik untuk Generasi Muda
Generasi muda Maluku Utara perlu diberikan pemahaman bahwa politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi instrumen perjuangan nilai dan aspirasi. Jika sejarah Sultan Babullah yang berhasil mengusir Portugis bisa dimaknai sebagai konsolidasi kekuatan lokal yang strategis, maka hari ini pun kita bisa mengulangi itu—melalui pendidikan politik yang menanamkan kebanggaan akan jati diri dan semangat kolektif.
4. Langkah ke Depan : Forum Kesultanan untuk Demokrasi Lokal
Gagasan pembentukan Forum Kesultanan Moloku Kie Raha adalah jalan tengah antara warisan budaya dan kebutuhan politik modern. Forum ini bisa menjadi wadah musyawarah, advokasi, bahkan menjadi kekuatan penyeimbang dalam pembangunan dan kebijakan publik.
Penutup
Revitalisasi peran kesultanan bukan nostalgia masa lalu, melainkan strategi masa depan. Dengan basis hukum yang kuat, konsistensi politik yang bersih, dan pendidikan politik yang berkesadaran sejarah, maka Moloku Kie Raha dapat menjadi model demokrasi lokal berbasis budaya. Mari jaga persatuan, lawan politik adu domba, dan bangun masa depan yang bermartabat.
Zulkifli Makatita – Masyarakat Pers Maluku Utara.