Kepemimpinan yang Tidak Menderita: Mengubah Narasi dari Beban Menjadi Amanah

banner 120x600

Oleh : Muhammad Laskar Alting

“Kita tidak sedang mencari pemimpin yang mengasihani dirinya, tetapi pemimpin yang sanggup mengasihi bangsanya.”

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah tulisan yang menyentuh hati, tentang kepemimpinan yang menderita di era digital. Sebuah narasi yang menggambarkan pemimpin sebagai sosok yang terus-menerus tertekan oleh tuntutan dunia maya, terombang-ambing dalam banjir ekspektasi, dan mengalami kelelahan eksistensial. Sebuah gambaran yang jujur, namun perlu juga ditinjau ulang.

Saya tidak ingin membantah penderitaan yang mungkin benar dirasakan sebagian pemimpin. Tapi saya ingin mengajak kita semua, terutama para calon pemimpin dan masyarakat luas, untuk mengubah cara pandang kita terhadap kepemimpinan.

Sebelum masuk lebih jauh soal kepemimpinan saya ingin cerita singkat terkait pengalaman saya dalam memimpin organisasi.

saya dulu pernah diberikan kepercayaan dalam memimpin sebuah organisasi kemahasiswaan, baru 4 bulan berjalan saya sudah tidak sanggup untuk menjalankan roda organisasi tersebut dikarenakan ada beragam masalah pribadi yang memutuskan saya untuk meninggalkan organisasi mahasiswa tersebut.

Menurut saya tingkat kerumitan dalam memimpin organisasi kemahasiswaan dan memimpin pemerintahan tentu sangat jauh berbeda, namun dalam hal ini saya lebih spesifik menyentil kepemimpinan dalam pemerintahan bukan organisasi kemahasiswaan.

Menurut hemat saya;

Kepemimpinan adalah Amanah, Bukan Derita.

Sejak dahulu, kepemimpinan adalah tanggung jawab mulia yang menyatukan ketegasan dan kelembutan, keberanian dan kebijaksanaan. Ya, tantangannya besar, apalagi di era digital, tetapi penderitaan bukanlah ruh dari kepemimpinan. Kepemimpinan bukan tentang merasa lelah karena dilihat, tapi bersyukur karena diberi kepercayaan untuk dilihat dan dipercaya.

Era Digital adalah Kesempatan, Bukan Beban.

Bukankah kehadiran media sosial justru membuka pintu interaksi yang lebih luas antara pemimpin dan rakyatnya? Bukankah ini kesempatan untuk mempercepat penyelesaian masalah, memperbaiki citra lewat ketulusan, dan menumbuhkan kepercayaan bukan lewat pencitraan, tapi kehadiran nyata?

Kelelahan eksistensial yang disebut-sebut itu seharusnya bukan alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk kembali merendahkan hati, menyusun strategi, dan belajar mengelola emosi. Bukan dengan menarik diri dari panggung publik, tapi hadir secara autentik—karena rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang sempurna, mereka hanya butuh yang benar-benar hadir.

Jangan Mengkultuskan Luka sebagai Simbol Kebesaran.

Benar bahwa pemimpin juga manusia, bisa lelah dan rapuh. Tapi jika luka dan penderitaan dijadikan identitas kepemimpinan, kita akan melahirkan generasi yang mengeluh sebelum bekerja, mengasihani diri sebelum mencintai masyarakat.

Sebaliknya, mari kita hidupkan narasi bahwa pemimpin sejati adalah yang kuat bukan karena tidak pernah lelah, tapi karena ia memilih bangkit setiap kali merasa jatuh—dan tidak menjadikan lelahnya sebagai cerita utama, tapi sebagai energi untuk berempati.

Masyarakat Butuh Inspirasi, Bukan Narasi Penderitaan.

Di tengah harga bahan pokok yang naik, pendidikan yang belum merata, dan akses kesehatan yang masih terbatas, masyarakat tidak butuh pemimpin yang sibuk mengisahkan betapa beratnya hidup sebagai pejabat publik. Mereka butuh pemimpin yang menyingsingkan lengan, turun ke lapangan, dan berkata: “Aku bersamamu, mari kita selesaikan ini bersama.”

Akhirnya, mari kita tidak romantisasi penderitaan dalam kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah seni melayani dengan cinta, bukan seni mencintai rasa lelah. Dan cinta yang sejati bukan hanya menangis bersama, tapi juga menuntun bersama keluar dari kepedihan menuju pengharapan.

Kita tidak kekurangan pemimpin yang bisa merasa, kita butuh lebih banyak pemimpin yang bisa bertindak. Karena pemimpin yang sejati tidak didefinisikan oleh beratnya beban, tapi oleh ringannya langkah yang ia berikan kepada rakyat yang dipimpinnya.

 

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *