FaduliNews.com_Jakarta, Praktik ilegal dalam penyaluran hasil hutan kembali menjadi sorotan. Maraknya penggunaan kayu pacakan yang disulap menjadi bahan baku industri primer hasil hutan dinilai melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan berpotensi memperparah kerusakan hutan di Indonesia.
Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.67/MNLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019, hanya kayu bulat dari hutan tanaman pada hutan produksi yang sah digunakan oleh Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK). Dalam peraturan ini, kayu olahan yang sah meliputi kayu gergajian, veneer, dan serpih, yang semuanya berasal dari pengolahan kayu bulat secara langsung.
Namun dalam praktik di lapangan, kayu pacakan—kayu olahan dari masyarakat yang biasanya berasal dari penebangan non-resmi—kerap dikumpulkan di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) untuk kemudian disalurkan ke industri primer. TPK menjadi titik rawan, karena kerap dijadikan modus operandi oleh para bandar untuk mengumpulkan dan menyamarkan asal usul kayu.
“Modus ini jelas menyalahi aturan,” tegas seorang sumber dari lembaga pengawasan kehutanan. “IUIPHHK hanya boleh menerima kayu dari sumber legal, yaitu kayu bulat dari hutan tanaman. Bukan kayu pacakan yang asal-usulnya tidak jelas.”
Kayu pacakan sejatinya hanya boleh digunakan untuk kebutuhan lokal di wilayah asalnya. Tidak diperkenankan untuk dijual ke industri primer apalagi diperdagangkan lintas wilayah. Penyimpangan ini termasuk dalam kategori pembalakan liar (illegal logging), yang sudah lama menjadi momok dalam pengelolaan hutan di Tanah Air.
Landasan Hukum dan Sanksi Tegas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) menjadi payung hukum utama dalam melawan illegal logging. Dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b UU P3H, ditegaskan bahwa pelaku pembalakan liar dapat dikenai pidana berat.
Jika dilakukan oleh korporasi, hukuman bisa mencapai penjara 20 tahun dan denda hingga Rp50 miliar. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memerangi praktik yang merusak ekosistem hutan dan mengancam keberlanjutan lingkungan.
Mafia Kayu dan Lemahnya Pengawasan Sayangnya, penegakan hukum di lapangan belum sepenuhnya efektif. Mafia kayu kerap kali mendapat sokongan dana dari cukong dan perlindungan dari oknum-oknum tertentu. Dalam beberapa kasus, pemangku kepentingan di daerah bahkan diduga terlibat langsung atau membekingi operasi illegal logging.
“Bukan rahasia umum, ada oknum aparat yang ikut bermain. Akibatnya, pengawasan jadi lemah, dan pelaku makin berani,” ujar seorang aktivis lingkungan yang enggan disebut namanya.
Dampak illegal logging tak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga kehidupan sosial masyarakat sekitar hutan. Kerusakan ekosistem, bencana alam, dan konflik lahan menjadi konsekuensi nyata dari pembiaran praktik ini.
Menutup Celah, Menjaga Hutan Diperlukan pengawasan yang ketat terhadap alur distribusi kayu dan transparansi dalam proses produksi industri kehutanan. Tindakan tegas terhadap pelaku, termasuk pengusaha yang menerima kayu dari sumber ilegal, menjadi kunci untuk memutus rantai kejahatan ini.
Jika tidak, hutan Indonesia yang merupakan paru-paru dunia akan terus tergerus, dan generasi mendatang hanya akan mewarisi cerita tentang kerindangan hutan yang dulu pernah ada.
(Aslan)