FaduliNews.com_Tidore, 8 Mei 2025 – Kasus dugaan penganiayaan berat terhadap Guntur, warga Pulau Mare, kini memasuki fase penting dalam proses hukum. Peristiwa yang terjadi pada 28 Desember 2024 di Desa Fanaha, Oba Utara, menyisakan luka fisik dan psikologis mendalam bagi korban dan menjadi perhatian publik terkait penegakan hukum di tengah dugaan tekanan sosial dan upaya penyelesaian kekeluargaan.
Kronologi Kejadian Menurut laporan korban, Guntur, dirinya dikeroyok oleh dua pemuda di sebuah pantai jalan kuburan saat duduk bersama di mana sebelum ia di beri miras namun berikut nya ajakan untuk terus mengonsumsi minuman keras Ia menolaknya.
Ia Mencoba memanggil sepupunya, namun sepupunya menolak untuk pulang bersamanya,dengan bahasa jang minum sudah.minuman itu sudah campur obat (pel) ucap guntur,minuman yang menurutnya berbau aneh “seperti obat”itu lalu di duga dua orang pelaku yang tidak menerima lalu temannya berdiri menghajarnya dengan pukulan pas di mata sebelah kiri,dan guntur pun terjatuh si pelaku lalu naik di atas perut lalu memukul lagi di wajah guntur sampai hidungpun berdarah. Meski sudah meminta maaf dan mencoba menghindar, pemukulan terus berlangsung. Guntur menyebut ada lima orang di lokasi, namun dua di antaranya melakukan kekerasan langsung.
Dalam kondisi wajah membengkak dan berdarah, Guntur akhirnya berhasil diselamatkan oleh keluarganya di Desa Fanaha dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Tidore.
Luka Fisik dan Laporan Polisi Akibat penganiayaan tersebut, Guntur mengalami luka sobek di jari kaki, memar di wajah dan kepala, serta sesak napas akibat tendangan di dada. Anaknya, Firja, yang mendapati sang ayah bersimbah darah, langsung melaporkan kasus ini ke Polresta Tidore Kepulauan. Laporan diterima dengan Nomor LP/B/163/XII/RES.1.6./2024/SPKT/Polresta Tidore/Polda Maluku Utara.
Dasar Hukum dan Potensi Hukuman Kasus ini dikategorikan sebagai penganiayaan berat berdasarkan Pasal 351 ayat (2) KUHP, dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara. Jika unsur perencanaan atau pengeroyokan terbukti (Pasal 351 ayat 3 dan Pasal 170 KUHP), pelaku dapat dijerat hukuman hingga 12 tahun penjara.
Tantangan Proses Hukum Bukti medis menjadi kunci dalam membantah klaim pelaku yang menyatakan hanya “mendorong dengan jari”. Sementara itu, perbedaan kesaksian mengenai jumlah botol minuman keras dan hubungan antara saksi dengan pelaku menjadi perhatian penyidik dalam menilai kredibilitas keterangan yang ada.
Keluarga korban juga mempertimbangkan tuntutan ganti rugi atas biaya pengobatan dan penderitaan korban, berdasarkan Pasal 98 KUHAP.
Tekanan Sosial dan Upaya Damai Pihak keluarga korban mengonfirmasi adanya pendekatan damai dari salah satu keluarga pelaku yang merupakan anggota yang bertugas di KODIM. Namun, keluarga Guntur menegaskan sejak masuk rumah sakit kalian di mana,nanti kami buat laporan polisi baru kalian datang untuk itu saya anaknya dan om ja sebagai keluarga korban belum dapat menerima upaya secara kekeluargaan karena luka yang dialami dinilai sangat serius.
“Kami menghargai itikad baik, tapi luka dan trauma yang dialami bapak saya tidak bisa dianggap ringan. Kami ingin proses hukum berjalan adil,” ujar Firja saat diwawancarai.
Harapan dan Rekomendasi Kasus ini menjadi ujian penting bagi aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan secara objektif. Lembaga bantuan hukum dan Komnas HAM disarankan untuk turut memantau proses persidangan. Pengadilan diminta menjunjung tinggi prinsip kesetaraan hukum, memberikan ruang bagi korban untuk didampingi secara hukum sesuai dengan UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum.
Penutup Dengan ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara jika unsur pengeroyokan dan penganiayaan berat terbukti, kasus Guntur menjadi sorotan penting mengenai keadilan hukum di daerah. Hasil akhir akan sangat ditentukan oleh ketelitian pengadilan dalam menilai bukti medis, konsistensi saksi, dan ketegasan dalam menolak intervensi eksternal.
(Faduli)