Dari Dana Desa ke PAD Daerah : Kisah Tak Adil Rappa Pelangi

banner 120x600

Oleh: Risal Abd Rahman – Tokoh Pemuda Bobanehena 

Rappa Pelangi bukan sekadar tempat wisata. Ia adalah simbol perubahan ekonomi lokal, ikon pariwisata baru Kabupaten Halmahera Barat, dan bukti nyata bahwa potensi desa bisa mendatangkan manfaat besar. Namun di balik keindahannya, tersembunyi sebuah kisah tak adil yang dialami oleh Desa Bobanehena desa yang secara administratif menjadi lokasi wisata tersebut.

Desa Bobanehena sejak awal menjadi pelopor pembangunan Rappa Pelangi. Dengan menggunakan Dana Desa, pemerintah desa membangun akses awal berupa jembatan menuju lokasi wisata. Tanpa langkah awal ini, pembangunan lanjutan oleh pemerintah daerah mungkin tidak akan semudah sekarang. Setelah akses terbuka, pemerintah kabupaten kemudian masuk, membebaskan lahan dan membangun fasilitas wisata seperti rumah inap di atas air. Hasilnya, Rappa Pelangi tumbuh pesat dan kini menjadi magnet wisata yang menghasilkan ratusan juta rupiah dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Namun yang menjadi persoalan adalah: di mana posisi desa dalam aliran pendapatan itu?

Sampai hari ini, tidak ada skema pembagian hasil secara resmi yang diberikan kepada Desa Bobanehena. Tidak ada satu persen pun dari PAD wisata tersebut yang kembali ke desa, meskipun desa jelas-jelas adalah pemilik wilayah dan pihak yang mengawali pembangunan. Beberapa pemuda desa memang dipekerjakan di lokasi wisata, namun dengan upah Rp800.000 per bulan, jumlah yang jauh dari cukup dan tidak sebanding dengan nilai ekonomi wisata yang terus tumbuh.

Ketimpangan ini mencerminkan masalah struktural dalam relasi antara pemerintah daerah dan desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara jelas memberi hak kepada desa untuk mengelola dan memanfaatkan potensi yang ada di wilayahnya. Ketika wisata berada di wilayah desa, terlebih jika desa ikut membangun dan memelihara sejak awal, maka desa berhak mendapatkan bagian dari pendapatan yang dihasilkan.

Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat bersikap adil dan terbuka. Perlu ada mekanisme pembagian hasil (profit sharing) yang resmi dan berkeadilan antara pemda dan desa. Apakah itu dalam bentuk persentase tertentu dari PAD, atau dalam bentuk kerja sama operasional dengan BUMDes yang bisa mengelola unit-unit usaha di kawasan wisata yang jelas, desa harus dilibatkan secara aktif dan dihargai kontribusinya.

Dalam hal ini, saya berharap kepada Komisi II DPRD Kabupaten Halmahera Barat yang membidangi pariwisata, agar menjadi corong dan suara penyeimbang. Komisi II bukan hanya memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah daerah, tetapi juga berkewajiban menyuarakan hak-hak desa yang terabaikan. Sudah saatnya DPRD berdiri bersama masyarakat desa, mendorong terbentuknya regulasi atau perjanjian resmi yang menjamin keadilan bagi Bobanehena.

Tanpa keadilan fiskal dan administratif, pariwisata hanya akan menjadi panggung untuk kepentingan daerah semata, sementara desa yang seharusnya menjadi subjek utama pembangunan terpinggirkan di tanahnya sendiri.

Rappa Pelangi adalah contoh nyata bahwa pembangunan tidak akan adil jika tidak dimulai dari pengakuan atas peran desa. Dari Dana Desa yang membuka jalan, kini mengalir PAD daerah. Tapi jangan biarkan cerita ini berakhir tanpa keadilan bagi Bobanehena.

Risal Abd Rahman – Tokoh Pemuda Bobanehena

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *